LOKADEWATA, DENPASAR – Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai Hariyo Seto dinonaktifkan dari jabatannya. Hariyo dinonaktifkan setelah ditetapkan tersangka atas dugaan pungutan liar (pungli) pada proses pemeriksaan imigrasi jalur fast track.
“Dengan (Hariyo) dijadikan tersangka, secara otomatis statusnya jadi nonaktif,” kata Kadiv Imigrasi Kantor Wilayah Hukum dan HAM (Kanwilkumham) Bali Barron Ichsan, Kamis (16/11).
Atas penetapan Hariyo sebagai tersangka kasus dugaan pungli tersebut, Barron menyatakan menghormati semua proses hukum yang berjalan. “Kami hormati proses hukumnya,” kata Barron singkat.
Untuk mengantisipasi aksi kejahatan serupa, Barron mengatakan pihaknya telah berupaya menuntaskan pemasangan 80 alat pemeriksaan Imigrasi atau autogate.
Menurutnya, pemasangan autogate merupakan langkah antisipatif dari Ditjen Imigrasi. Tujuannya, meminimalisasi pelanggaran yang selama ini terjadi dan dikeluhkan masyarakat.
“Kami sebenarnya sudah melakukan perbaikan dengan memasang autogate. (Proses pemeriksaan keimigrasian) penumpang akan dilakukan secara kesisteman dan berhadapan dengan mesin. Sehingga mengurangi kontak dengan petugas,” jelas Barron.
Barron membantah adanya segelintir orang atau wisatawan nakal yang memanfaatkan proses pemeriksaan imigrasi jalur fast track dengan menyuap petugas imigrasi. Dia memastikan tidak ada petugas imigrasi yang meminta imbalan dalam menjalankan tugasnya, selain Hariyo.
Sebelumnya, Hariyo Seto diduga mengantongi Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per hari. Uang itu diperoleh Hariyo dari para wisatawan asing yang memanfaatkan kemudahan dan kecepatan proses pemeriksaan imigrasi melalui jalur fast track atau jalur cepat.
Setidaknya, Hariyo menerima imbalan Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu per orang. Hasil penyidikan sementara, semua hasil pungutan itu dinikmati sendiri oleh Hariyo dan anak buahnya.
“Ada disebutkan (uang hasil pungli) dipakai beli makan, keperluan lain-lain, lalu dibagi kepada timnya (anak buahnya),” kata Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Bali Putu Eka Sabana. (DC/AP)