DISHUB BALI MENYATAKAN MINIM MINAT INVESTOR TERHADAP BUS KOTA LISTRIK

LOKADEWATA, DENPASAR – Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali IGW Samsi Gunarta menyebut belum banyak perusahaan swasta yang melirik untuk berinvestasi di proyek Sarbagita Electric Bus Rapid Transit (e-BRT). Hal tersebut disebabkan oleh masih tingginya risiko dalam proyek bus kota listrik.

“Jadi, kenapa FS (feasibility study/uji kelayakan) ini dilakukan karena kami ingin melihat sejauh mana risikonya dan di sisi mana risiko itu bisa diturunkan,” sebutnya saat ditemui pada Rabu (18/10) di kantor Gubernur Bali, Jalan Basuki Rahmat Nomor 1 Denpasar, Bali.

Sehingga, sambung Samsi, itulah yang menyebabkan bisnis model dari sistem bus kota bertenaga listrik ini harus disusun dengan baik. “Jika tidak, ini tidak bisa berlaku sama seperti halnya dengan kendaraan VRT atau pelayanan by the service yang ada sekarang yang menggunakan kendaraan berbasis bahan bakar karena BBM-nya disubsidi juga oleh pemerintah,” ungkapnya.

Menurutnya, model bisnis e-BRT nantinya akan sangat menentukan dan dijadikan sebagai bagian dari rekrutmen atau mencari investor.

Sebelumnya, Pemprov Bali bersama sejumlah lembaga, termasuk Eksekutif Millennium Challenge Account Indonesia II (MCA II) kini tengah menggodok FS atau uji kelayakan bus kota bertenaga listrik. Hasil FS akan menentukan rute bus listrik dan tempat pengisian setrum bus.

Penggunaan Motor Pribadi Jadi Tantangan Warga Beralih ke Transportasi Umum

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai masifnya penggunaan motor pribadi menjadi tantangan bagi warga untuk dapat beralih ke penggunaan transportasi umum di Bali. Deputi Sarana Prasarana Bappenas Ervan Maksum mengatakan kondisi tersebut menjadikan warga berada pada zona nyamannya.

“Motor ini transportasi yang cepat, nyaman dan dari rumah langsung bisa sampai ke tujuan. Ini tidak bisa dikalahkan dan susah dikalahkan,” ucapnya, Rabu (18/10) di kantor Gubernur Bali, Jalan Basuki Rahmat Nomor 1 Denpasar, Bali.

Pada 2002, tercatat jumlah motor di Bali sekitar 4 juta. Menurut Ervan, apabila warga membeli 1 liter Pertalite Rp 10 ribu per harinya, maka pemerintah telah memberikan subsidi sebesar Rp 10 triliun setiap tahunnya.

“Kami meramalkan bahwa tahun 2045, 70 persen masyarakat kita tinggal di perkotaan dan sudah saatnya hari ini merancang transportasi publik yang sedikit emisinya dan ramah lingkungan,” ungkapnya.

Ervan mengakui untuk melakukan perubahan dari penggunaan transportasi pribadi menuju transportasi umum tidak mudah. Sebab, warga harus keluar dari zona nyamannya.

“Saya yakin melalui e-BRT dan EVCP ini adalah instrumen, tapi ekosistem ini harus dibangun, aturannya, dan bagaimana insentif harus dilakukan juga. Saya yakin masyarakat Bali ingin secara lingkungan dan kulturalnya terjaga. Kita sama-sama menjaga dan ini salah satu ikhtiarnya,” imbuhnya.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya berharap kedepannya melalui peluncuran proyek bus kota listrik dapat mengatasi kondisi kemacetan di Bali. Salah satunya akses menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.

“Diharapkan dapat menjadi contoh pelayanan angkutan publik yang ramah lingkungan dan dapat memicu peralihan kendaraan pribadi ke angkutan publik baik untuk masyarakat dan wisatawan,” katanya.

Di samping memang diharapkan dapat mempercepat upaya registrasi penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Bali demi tercapainya Net Zero Emission di tahun 2045. (DC/AP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *