KLUNGKUNG, LOKADEWATA.COM – Warga di sekitar hutan negara Karang Atuh, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, belakangan dilanda kegeraman. Hal ini dipicu oleh ulah investor asal Jakarta dengan nama PT Capri Nusa Satu, secara terang-terangan melakukan perabasan hutan milik negara seluas 13 are.
Tindak perabasan hutan ini bertujuan untuk memasang perangkat lift, yang nantinya digunakan untuk menghubungkan resort yang akan dibangun di Pantai Atuh, menuju areal restoran yang didirikan di tebing. Di mana dari tebing ini, terlihat pemandangan sisi timur pulau Nusa Penida yang eksotis dengan bentang laut membiru.
“Menurut informai yang saya tahu, pihak warga telah melaporkan perabasan itu ke Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Bali Selatan pada Juli 2019. Kemudian UPT melakukan pemeriksaan dan dari hasil itu diketahui aktivitas itu memang melanggar dan UPT segera menghentikan aktivitas tersebut dengan mengeluarkan surat,” ujar Putu Arimbawa selaku tokoh Nusa Penida ketika dikonfirmasi Kamis (5/12).
Dia menambahkan, pihak UPT juga katanya sudah memanggil pihak penanggung jawab perusahaan untuk dimintai klarifikasinya. Namun, pihak penanggung jawab perusahaan tidak mau datang ke UPT untuk mengklarifikasinya, akhirnya UPT melaporkan hal itu ke Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Bali pada 30 September 2019.
Dikatakan Arimbawa, kenapa sampai kasus ini dilaporkan ke polisi, ini dikarenakan pihak investor sepertinya terkesan bermanuver dengan tujuan agar pembuatan lift dan proyek resort serta restoran dapat berjalan lancar. Tanpa direcoki penolakan warga setempat.
“Habis bagaimana warga tidak menolak, jika proyek itu dilakukan di wilayah tempat suci. Proyek yang dikerjakan PT Capri Nusa Satu itu berdekatan dengan Pura Segara Atuh. Masa proyek yang sudah jelas-jelas melanggar konsep Tri Hita Karana, khususnya Wana Kertih, harus dilegalkan demi mengejar keuntungan bisnis semata? Ini sudah tidak dibenarkan. Nanti warga mau sembahyang, sedikit saja mendongak eh … terlihat bangunan resort bertingkat. Apalagi kalau ada yang jemur-jemur baju. Ini tempat suci lho, tempat memuja Hyang Widhi. Harus dijaga dengan setegak-tegaknya!” tegas Arimbawa.
Secara tersirat, Arimbawa menyatakan kalau sebenarnya ada indikasi proyek perabasan hutan ini terjadi karena ada ‘deal’ tertentu dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Bali. “Banyak indikasi yang menyiratkan itu, di mana investor sebelumnya dikasih dua opsi. Masing-masing opsi adalah : kerja sama pinjam pakai atau kerja sama dengan program perhutanan sosial melalui pembentukan kelompok tani. Ini yang sekarang lagi dimainkan. Bikin kelompok tani, tapi kok pengurusnya ASN semua. Benar-benar tidak masuk akal,” katanya mempertanyakan.
Sementara itu, saat dikonfirmasi, Kasi UPT Bali Selatan Wayan Suardana mengatakan bahwa pada Juli 2019 pihaknya telah mendapat laporan dari kelompok masyarakat setempat di Pantai Atuh, Desa Pejukutan jika telah terjadi tindak pidana pembabatan hutan lindung yang dilakukan oleh perusahaan Jakarta, PT Capri Nusa Satu.
Usai mendapat laporan, UPT Bali Selatan langsung meluncur ke TKP yang langsung dipimpin Kasi UPT Bali Selatan. Begitu sampai di TKP, pihak UPT Bali Selatan langsung menghentikan aktivitas PT Capri Nusa Satu dan langsung proses pemanggilan pihak perusahaan tersebut, serta melimpahkan kasus ini ke Krimsus Polda Bali untuk ditindaklanjuti proses hukumnya.
“Pengacara PT Capri Nusa Satu sempat datang dan minta damai, tapi saat itu kami menegaskan kalau hutan itu milik negara dan rakyat, sehingga kalau ada yang berani membabat hutan maka kami wajib untuk menindaknya. Kami tidak mempunyai hak berdamai dan memaafkan pembabat hutan, karena hutan itu bukan milik saya. Saya tegaskan, hutan itu milik negara dan milik semua rakyat Indonesia,” katanya.